“Dok, apa yang akan Anda lakukan ketika Anda mengetahui bahwa
Anda akan meninggal esok hari??”
Itulah kalimat pertama yang ia keluarkan saat pertama kali aku
berjumpa dengannya. Saat itu aku sedang melakukan visite pasien di ruang perawatan.
Pasien itu bernama Shinta, wanita yang berusia lima tahun lebih muda dariku. Ia
adalah pasien yang sudah berulang kali masuk ke rumah sakit untuk menjalani
kemoterapi. Ia menderita limfoma maligna, suatu kanker atau keganasan yang
menyerang kelenjar pertahanan tubuh (limfe) seseorang.
“Kok Dokter tidak menjawab??” tanyanya lagi
“Eh…maaf ya!! Saya masih berpikir hal paling penting apa yang
akan saya lakukan. Mungkin saya akan memperbanyak taubat pada Sang Khalik dan
meminta maaf pada semua orang yang pernah saya sakiti.” Jawabku seadanya
“Ah…Dokter. Itu kan sudah pasti. Maksud saya apa hal yang
paling ingin lakukan saat Dokter tahu umurnya akan berakhir besok??” tanyanya
lebih tegas
“Apa ya??? Mungkin saya ingin menghabiskan berpuluh-puluh
gelas kopi dan berharap saya tidak tertidur agar hari esok tidak akan datang.”
jawabku sambil tersenyum.
“Ah…Dokter. Shinta lagi serius, kok Dokter malah bercanda”
“Memangnya kenapa kamu bertanya begitu??” aku bertanya balik
“dr. Farid pasti sudah memberitahu pada Dokter kan?? Usiaku
tinggal seminggu lagi. Aku diberitahu oleh dr. Farid tiga bulan yang lalu kalau
usiaku tidak lama lagi. Katanya, kanker ini sudah bermetastase ke organ lain.
Kemoterapi yang telah saya jalani selama ini tidak berhasil untuk menghambat perkembangannya.”
jelasnya lirih
“Jangan berkata begitu Shinta. Saya yakin kok Insya Allah usia
Shinta masih panjang. Selama Shinta tetap yakin pada Sang Khalik, semua akan
baik-baik saja.”hiburku “O iya, bagaimana kabarnya hari ini?? Kemoterapinya
sudah selesai kan semalam??” aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Alhamdulillah, tidak ada keluhan yang berarti Dok. Tubuhku
sudah terbiasa dengan kemoterapi yang berulang kali masuk ke dalam tubuhku.
Sebentar sore saya sudah boleh pulang kan Dok??”
“Insya Allah Shinta sudah boleh pulang sore ini. Nanti saya
berikan resep sesuai instruksi dr. Farid. Tapi ingat ya, kontrol sebulan
lagi!!”
“Insya Allah Dok. O iya, nama dokter siapa? Dokter baru kan di
sini??” Tanya Shinta
“Nama saya Zulkifli, panggil saja Zul. Saya sudah lama tugas
di rumah sakit ini, cuma memang baru kali ini saya bertugas di ruang perawatan.
Selama ini saya hanya bertugas di UGD, makanya kita baru pertama kali ketemu.”
“Oo…pantas. Saya Shinta. Saya pasien tetap di sini. Hampir
semua petugas di RS ini saya kenal, cuma memang hanya yang bertugas di ruang
perawatan. Makasih ya Dok untuk motivasi yang telah dokter berikan.”
“Sama-sama Shinta. Salam kenal ya. Pokoknya Shinta harus tetap
semangat. Sekarang saya mau memeriksa yang lain dulu,.”
Itulah obrolan singkat antara aku dan Shinta pagi itu. Setelah
aku memeriksa kondisi tubuh Shinta aku pun meminta izin untuk pergi memeriksa
pasien yang lain. Aku cukup kagum dengan ketegaran hati Shinta. Penyakit yang
ia derita sepanjang hidupnya tidak menghapus semangat hidup dari wajahnya.
Meskipun telah divonis bahwa usianya tidak lama lagi, ia tetap menghadapinya
dengan senyuman. Tidak tampak kesedihan yang begitu dalam dari wajahnya.
“Dokter kagum ya sama Shinta??” tanya Bu Sri perawatku
“Ibu bisa saja… Jujur memang saya kagum padanya. Tapi tidak
lebih dari rasa kagumku sebagai dokter terhadap pasien.”
“Hehehe…lebih juga tidak pa-pa kok Dok. Saya juga kagum
padanya. Jujur Shinta mengingatkan saya pada anak saya yang sementara kuliah di
Bandung Dok. Wajah dan senyum manisnya selalu mengobati kerinduanku pada anak
semata wayangku.”jelas Ibu Sri
“Ibu kenal Shinta sudah lama ya??”
“Sudah lama Dok. Dokter tahu tidak bagaimana keadaan Shinta
saat tahu penyakitnya dan usianya yang tidak lama lagi??” Ibu Sri bertanya
balik padaku
“Tidak Bu,. Ibu kan tahu saya baru bertugas di perawatan.
Ketemu Shinta saja baru tadi. Mana mungkin saya tahu banyak tentang dia dan
masa lalunya.”
“Oo…iya. Ibu baru ingat. Maaf ya Dok!!!” jawabnya sambil
tersipu
“Ndak pa-pa kok Bu. Memangnya kenapa dengan Shinta waktu
itu??”
“Ibu juga tidak tahu jelas mengenai detail ceritanya. Yang
jelas, saat Shinta mengetahui penyakit yang ia derita, ia sempat mengalami
depresi. Ia sempat menarik diri dari pergaulan, bahkan sempat akan bunuh diri.”
“Ooh…ya?? Terus bagaimana ceritanya sehingga ia bisa berubah
Bu??”tanyaku penasaran
“Ibu juga tidak tahu Dok. Saat pertama kali Shinta dirawat di
rumah sakit ini, ia sangat kurus dan tidak terawat. Terlihat betapa penyakitnya
telah merenggut masa-masa mudanya yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan. Ibu
sangat perihatin dengan kondisinya saat itu.”
“Oo…tapi kok kelihatannya Shinta sekarang berbeda dengan yang
Ibu ceritakan??” tanyaku heran
“Itu yang Ibu belum tahu sampai sekarang. Tapi Ibu cukup
bersyukur dengan perubahan dirinya. Sekarang Shinta kelihatan lebih dewasa
dibandingkan dulu. Ia kelihatan jauh lebih tegar. Penyakit yang ia derita
memaksa dirinya berpikir lebih dewasa ketimbang usianya. Ibu merasa kasihan
sekaligus kagum dengannya.”
“Lagi gosipin Shinta ya??” tiba-tiba Shinta datang memotong
pembicaraan kami sambil tersenyum. Jujur aku sempat terpesona dengan senyuman
manis wajahnya. Wajah Shinta memang begitu mempesona. Tidak tampak efek
kemoterapi yang telah berulang kali masuk ke dalam tubuhnya.
Seakan kemoterapi telah bersahabat akrab dengan dirinya. Aku
akui wajahnya memang sangat cantik.
“Kenapa Dokter melihat wajahku seperti itu?? Dokter naksir
padaku ya??” Shinta menggodaku
“Hahaha…siapa yang lihat Shinta?? Saya melihat keluarga pasien
yang masuk tadi.” jawabku sambil menyembunyikan wajahku yang merah padam.
“Dok, resepnya mana Dok?? Dokter lupa ya ngasih ke Shinta??”
“Eh…iya. Ibu Sri di mana resep yang sudah saya tulis tadi??”
“Bukannya itu yang ada di tangannya Dok??”
“Astagfirullah…iya ya.” Jawabku sambil memegangi kepalaku.
“Wah…Dokter grogi nich sama cewek cantik. Iya nich Nak Shinta,
dari tadi dr. Zul nanya-nanya Nak Shinta terus. Kelihatannya sich dr. Zul
naksir sama Shinta…” Ibu Sri tertawa menggodaku
“Aduh…Ibu Sri kok buka kartu sich?? Siapa yang naksir sama
Shinta?? Ibu Sri cuma bercanda, jangan percaya sama beliau. Ini Shinta
resepnya. Ingat ya untuk datang kontrol.”
“Siap Dok!!! Oo…iya, Dokter ada waktu ndak hari Rabu ini?? Mau
ndak makan siang bareng Shinta?? Itu juga kalau Dokter tidak sibuk.”
“Hari Rabu siang ya?? Kayaknya tidak ada Shinta. Hari Rabu
saya libur. Boleh, mau makan siang di mana??”
“Besok Shinta yang hubungi ya? Boleh ndak saya minta nomornya
Dok??”
“Ndak boleh!!!” aku menjawab dengan tersenyum.
“Baiklah, kalau Dokter tidak bersedia ndak pa-pa kok. Kalau
begitu saya permisi ya Dok. Terima kasih!!!” Shinta beranjak pergi meninggalkan
aku dan Bu Sri
“Shinta, tunggu sebentar. Minta resepnya tadi!!! Ada yang saya
lupa tulis.”
Aku pun menulis resep tambahan yang tidak lain adalah nomor
HPku. Aku pun memberikannya kembali pada Shinta. “Jangan lupa besok hubungi
saya kepastiannya ya!!” Shinta tersenyum penuh tanda tanya dengan pernyataan
yang keluar dari mulutku. Saat ia melihat resepnya, barulah ia mengerti.
“Terima kasih Dok!!!” jawabnya dengan senyuman. Senyuman yang membuat hatiku
bergetar tanpa mampu aku pahami.
“Ini apa Shinta??” tanyaku dengan penasaran. Aku tak sengaja
melihat secarik kertas terjatuh dari tasnya saat Shinta sedang berdiri hendak pergi
ke WC siang itu. Aku dan Shinta sedang makan siang bersama sesuai janjiku dua
hari yang lalu.
“Ini catatan terakhir yang ingin saya lakukan sebelum maut
menjemputku Dok.” Jawabnya dengan malu-malu.
“Boleh saya baca??”
“Boleh kok Dok. Saya tinggal dulu ya Dok, saya mau ke WC.”
Catatan itu berupa daftar kegiatan yang ditulis dengan tangan
oleh Shinta. Aku memperhatikan setiap detail kegiatan yang ia tulis. Kagum
bercampur haru menyelimuti hatiku saat membacanya. Aku merasakan perasaan
Shinta saat menulis kata demi kata kegiatan yang ingin ia lakukan. Tersirat
semangat hidup Shinta yang menjiwai catatannya. Hampir seluruh daftar kegiatan
dalam catatan tersebut telah dicross check olehnya. Aku menduga bahwa hampir
seluruh kegiatan tersebut telah ia lakukan.
“Kenapa Dok?? Aneh ya?? Catatan itu lah yang membuat hari-hari
terakhirku berarti.” Shinta
“Tidak kok Shinta. Saya malah kagum dengan Shinta.” Jawabku
tulus
“Catatan ini terinspirasi dari seorang ibu tua. Saya tidak
sengaja bertemu dengannya saat sedang berjalan di pinggir pantai. Ibu tua itu
seakan menangkap kegelisahan hatiku saat itu, saat mengetahui vonis penyakit
yang saya derita. Saat itu saya benar-benar mengalami depresi yang berat,
apalagi setelah mengetahui usiaku tinggal menghitung bulan.” jelasnya
“Terus apa yang ibu itu lakukan??” tanyaku penasaran
“Ibu tua tersebut yang datang menghampiriku saat saya sedang
menikmati senja di pantai dengan hati dan pikiran yang penuh dengan kesedihan.
Ia menghiburku dengan menceritakan kehidupan almarhum anaknya yang juga
bernasib hampir sama dengan nasibku. Anaknya menderita kanker payudara saat
usianya juga masih remaja. Kanker inilah yang merenggut satu-satunya keluarga
yang ia miliki menyusul suaminya yang telah lebih dulu meninggalkan dirinya
menuju Rabb-Nya. Menurut ceritanya, beliau sempat mengalami depresi bahkan
sempat divonis menderita schizophrenia oleh dokter yang merawatnya.
Hidupnya seakan telah berakhir saat jenazah anak yang ia
sayangi dikebumikan. Namun, seiring dengan waktu akhirnya beliau menemukan
sebuah pencerahan. Allah seakan memberikan beliau hidayah melalui makhluk-Nya.
Ia tidak sengaja bertemu dengan seorang bocah yang begitu kelaparan di jalan.
Tubuh anak tersebut sangat kurus kering. Seakan terbangun dari tidur panjang
beliau lalu tersadar dari ketidakberdayaannya. Beliau lalu menolong anak
tersebut, membelikan makanan dan pakaian yang layak. Ada sebuah kebahagiaan
yang telah lama hilang dari hatinya saat melihat senyuman anak tersebut. Sejak
kejadian tersebut beliau lalu bangkit dan mulai membuka lembaran baru hidupnya.
Beliau mulai membuka usaha kecil-kecilan dan membuka sebuah yayasan buat
anak-anak jalanan. Beliau mendapatkan pelajaran berharga bahwa kebahagiaan yang
sesungguhnya bukan dari apa yang kita miliki, namun dari apa yang telah kita
berikan pada orang lain. Bahwa hidup yang sebenarnya adalah bukan bagaimana
kita memulainya, namun hidup yang sebenarnya adalah bagaimana kita
mengakhirinya.” Shinta menjelaskan dengan semangat. Ia berhenti sejenak lalu
menghirup minuman dingin yang ada di hadapannya. Ia menarik nafas sejenak lalu
melanjutkan ceritanya.
“Ibu itu seakan diutus oleh Sang Khalik untuk memberikanku
hidayah. Saya juga seakan terbangun dari tidur panjangku. Kata-kata ibu
tersebut seakan menjadi cahaya penerang hatiku yang mati oleh beban masalah
yang kuhadapi. Sejak saat itu saya pun berjanji bahwa saya tidak akan menyerah
pada hidup. Saya pun mulai menuliskan hal-hal yang akan saya lakukan sebelum
ajal menjemputku.”
“Salut buat kamu Shinta. Saya semakin kagum pada kamu. Jarang
ada seorang wanita seusiamu yang berpikir seperti kamu.” Pujiku tulus
“Makasih Dok. Tapi jujur keadaanlah yang memaksaku untuk lebih
bijaksana dan lebih dewasa dalam memaknai hidup ini Dok.”
“Ada satu hal yang masih mengganjal di pikiranku Shinta.
Daftar terakhir yang belum kamu cross check dalam catatanmu. Makan Brownies
Cokelat?? Kok belum kamu lakukan?? Kan banyak yang menjual Brownies di sini.”
tanyaku penasaran. Dari sekian banyak daftar kegiatan yang ia tulis memang
kegiatan terakhir ini yang paling menarik bagiku.
“Hihihihi….iya Dok. Sampai sekarang saya belum dapat
browniesnya. Brownies ini istimewa Dok.
Berbeda dengan brownies yang dijual di toko maupun yang dibuat
sendiri. Saya belum sempat berkeliling mencarinya. Sementara ini saya hanya
mencari informasi di internet.”
“Memangnya brownies seperti apa Shinta??” aku semakin
penasaran
“Browniesnya berbeda Dok. Waktu itu, nenek saya yang
membawanya. Saat itu saya masih berusia sebelas tahun. Rasanya berbeda dengan
kue brownies lainnya. Saya sendiri tidak mampu menjelaskan di mana
perbedaannya. Namun, entah mengapa rasanya begitu enak. Saya tidak sempat menanyakan
pada nenek waktu itu. Nenek keburu meninggal dunia saat saya mau menanyakannya.
Menurut beliau brownies ini brownies istimewa dengan resep yang cukup langka.
Mamaku sendiri tidak tahu di mana nenek membelinya.”
“Kayaknya susah Shinta. Itukan sudah sepuluh tahun yang lalu.
Bisa saja toko yang menjualnya sudah tutup atau beralih usaha.”
“Iya Dok. Saya cukup pesimis dapat mencicipi brownies itu
lagi. Saya tidak dapat melupakan rasa kue brownies itu. Ada perasaan damai saat
menikmati setiap gigitan lembut kuenya.” Wajah Shinta begitu berbinar-binar
saat membayangkan kue tersebut. Aku menangkap kebahagiaan yang begitu dalam
dari matanya yang indah saat menceritakan kue brownies istimewa tersebut.
“Kalau begitu saya akan membantumu mencarinya. Saya penasaran
dengan kue yang kamu ceritakan tersebut.”
“Betul Dok?? Terima kasih ya Dok… Dokter memang baik banget…”
Shinta melompat bahagia. Entah mengapa detak jantungku kembali berdegub kencang
saat melihat kebahagiaan Shinta siang itu. Aku kembali merasakan perasaan
ganjil dalam hatiku setiap kali aku melihat Shinta. Namun, aku berusaha
menyembunyikannya dari Shinta.
“Oh…iya Dok, sebentar malam Dokter sibuk tidak?? Saya ingin
mengajak Dokter ke acara silaturahim teman-teman himpunan penderita kanker.
Kebetulan malam ini kami akan membuat kegiatan amal untuk membantu para
penderita kanker yang tidak mampu.”
“Boleh… Kebetulan malam ini saya memang lagi tidak ada
kegiatan. Nanti malam habis Shalat Magrib saya jemput kamu di rumah.”
“Siap Dok!!! Makasih ya… Teman-teman pasti senang kalau Dokter
datang.” Wajah Shinta begitu bersemangat. Kelihatan bahwa Shinta begitu
bahagia.
Suasana malam amal yang berlangsung pada ruang auditorium
balaikota itu begitu semarak. Acara sederhana yang memang dikhususkan untuk
menghibur sekaligus mengumpulkan dana bagi para penderita kanker dihadiri oleh
masyarakat yang tinggal di sekitar auditorium. Para pasien baik yang berusia
tua maupun yang muda bersuka cita, bernyanyi, menari bersama larut dalam acara
tersebut. Aku tidak melihat adanya kesedihan dari wajah-wajah penderita kanker
tersebut. Mereka seakan lupa dengan penyakit yang mereka derita. Semangat untuk
terus bertahan hidup begitu terasa dalam ruangan auditorium yang hanya
berukuran kecil ini. Tidak terkecuali Shinta, malam itu Shinta menjadi Diva. Ia
tampil sebagai MC sekaligus penyanyi. Aku akui penampilan Shinta malam itu
begitu cantik dan mempesona membuat jantungku sejak dari tadi berdegub kencang
tak karuan. Sampai sekarang aku belum mengetahui perasaan aneh yang selalu
muncul setiap saat aku berada di dekatnya.
Selepas acara, Shinta mengenalkan aku pada para pengurus dan
anggota himpunan peduli kanker yang menjadi pelaksana acara tersebut. Hampir
sebagian besar pengurus himpunan masih berusia sebaya denganku. Kami saling
bertukar cerita mengenai latar belakang kami masing-masing. Mereka hampir
sebagian besar juga punya pengalaman seperti Shinta. Mereka juga pernah
mengalami episode kelam dalam hidupnya. Namun, mereka dapat bangkit dari
ketidakberdayaan dan berusaha menghidupkan hidup mereka. Mereka berusaha dan
berjuang untuk menolong orang-orang seperti mereka untuk tetap semangat menatap
hidup. Jujur aku sendiri merasa malu dengan diriku melihat semangat hidup
mereka.Malam itu, menjadi malam yang begitu berkesan bagi diriku. Aku
mendapatkan banyak teman baru dan pelajaran hidup yang begitu berharga.
“Terima kasih Shinta sudah mengajakku untuk datang ke acara
ini. Jujur saya kagum pada kamu, pada teman-teman semua. Saya kagum pada
semangat hidup kalian semua.”
“Sama-sama Dok. Saya juga berterima kasih pada Dokter karena
telah mau meluangkan waktunya untuk hadir di acara kami. Saya telah berjanji
pada diriku untuk mengabdikan sisa hidupku untuk kemanusiaan.” jawabnya tulus.
Senyuman di wajahnya kembali membuat aku salah tingkah. “Oo…iya Dok. Jadi ndak
besok Dokter mau temani Shinta mencari brownies itu??” tanyanya malu-malu
“Jadi kok Shinta. Insya Allah besok pagi saya jemput Shinta di
rumah. Jadi kita punya waktu cukup banyak berkeliling mencari browniesnya??”
“Terima kasih ya Dok. Saya tidak tahu bagaimana harus
membalasnya.”
“Sama-sama Shinta. Saya senang bisa membantu Shinta.
“Bukan ini Dok!!! Rasanya tidak seperti ini. Brownies ini
berbeda dengan brownies yang pernah nenekku bawa.” Seperti janjiku pada Shinta,
pagi-pagi sekali aku dan Shinta berkeliling kota untuk mencari kue brownies
istimewa tersebut. Kami sengaja berangkat agak pagi selain agar tidak terjebak
macet, kami juga ingin agar kami punya banyak waktu berkeliling kota. Kebetulan
aku memang libur hari itu dan sengaja membatalkan semua agendaku demi wanita
istimewa yang baru aku temui beberapa hari lalu.
Entah sudah toko kue yang ke berapa yang telah kami masuki
hari ini. Sejak pagi aku dan Shinta berjalan mengelilingi kota demi sebuah
brownies. Mungkin aku juga mulai terobsesi kue brownies seperti Shinta sehingga
pikiran logisku mulai hilang. Hampir setiap toko yang menjajakan kue mulai kue
tradisional hingga toko bakery yang terkenal telah kami masuki. Namun, kami
belum menemukan kue brownies yang Shinta cari. Perutku mulai kekenyangan oleh
kue brownies yang telah kami coba satu persatu. Jujur lidahku mulai terasa eneg
akibat banyaknya kue yang telah aku makan sejak pagi.
Hari sudah menjelang magrib saat aku dan Shinta mulai
kehabisan energi untuk memakan brownies terakhir yang kami beli dari toko
bakery yang baru saja kami kunjungi.
“Hari ini kita berhenti dulu Shinta. Kamu jangan terlalu
lelah. Ingat kondisi tubuhmu yang membutuhkan istirahat. Besok kita lanjutkan
lagi.” aku khawatir melihat kondisi Shinta yang mulai terlihat kelelahan. Hari
ini memang Shinta kelihatannya kurang fit. Aku sudah berniat menunda dulu
rencana kami hari ini, namun karena melihat semangat Shinta yang begitu besar
aku mengurungkan niatku itu.
“Iya Dok,. Mungkin besok saja kita lanjutkan. Entah mengapa
tubuhku mulai terasa berat. Kepalaku juga mulai terasa pening.” Jawabnya dengan
terengah-engah
“Saya antar kamu pulang ya!! Yakin kamu baik-baik saja??” aku
ragu melihat dirinya.
“Iya Dok, Shinta tidak pa-pa. Kalau sudah beristirahat Insya
Allah saya sudah pulih lagi.”
Tak berapa lama kami sudah sampai ke rumah Shinta. Kondisi
tubuh Shinta begitu mengusik pikiranku. Namun, ia tidak mau aku periksa. Ia
juga menolak tawaranku untuk membawanya ke tempat praktek dr. Farid.
“Terima kasih ya Dok untuk hari ini. Sayang kita belum dapat
brownies yang Shinta cari.”
“Iya, sama-sama Shinta. Langsung istirahat ya!!! Jangan lupa
obatnya diminum!!! Kalau ada apa-apa tolong hubungi saya.”
“Siap Pak Dokter!!! Sungguh Dokter begitu baik mau menolong
wanita penyakitan sepertiku.”
“Jangan bicara seperti itu. Saya tulus membantu Shinta karena
bagi saya Shinta itu wanita yang istimewa bagiku.” Entah mengapa kata-kata itu
keluar begitu saja dari mulutku. Aku memperhatikan wajah Shinta yang manis
bersemu merah.
“Terima Kasih Dok!!! Shinta pamit dulu ya. Sampai jumpa
besok.” Shinta berjalan dengan pelan menuju rumahnya. Entah mengapa ada
perasaan kehilangan saat Shinta telah masuk ke dalam rumahnya. Aku cepat-cepat
menepis perasaan tersebut lalu pergi.
Sepanjang jalan wajah Shinta terus terbanyang dalam benakku.
Aku juga tidak berhenti memikirkan brownies yang kami cari seharian ini. Aku
masih penasaran dengan brownies tersebut. Aku tak sadar telah tiba di rumah
kerabatku untuk menjemput mama yang sedang arisan bulanan.
“Kamu sudah shalat Magrib Nak??” mama menyapaku saat masuk ke
mobil
“Sudah Ma. Tadi singgah shalat di masjid di depan kompleks.”
“Oo…iya nich Mama bungkuskan kue dari arisan tadi. Makan dulu
Nak!!! Kamu pasti lapar kan??” Mama menyodorkanku kotak kue yang ia bawa.
Kebetulan memang perutku sedang keroncongan. Aku pun langsung mengambil kotak
tersebut dan membukanya. Ada perasaan aneh saat melihat kue yang ada di
dalamnya. “BROWNIES lagi!!!” aku berteriak dalam mobil.
“Kenapa memangnya Nak?? Kamu tak suka?? Brownies ini berbeda
Nak. Brownies ini resep dari nenek teman mama. Tadi kebetulan di arisan, Mama
dan teman-teman belajar membuat kue ini. Ayo coba!!! Kamu pasti suka.”
“Tidak Ma,. Seharian saya sudah makan kue brownies. Tapi aku makan
ya Ma. Perutku memang lapar sekali.” Aku pun mengambil sepotong dan mencobanya.
Rasanya memang berbeda dengan brownies-brownies yang aku makan sejak pagi.
Entah apa yang membuatnya berbeda. Aku tiba-tiba teringat pada Shinta.
Jangan-jangan kue ini lah yang Shinta cari selama ini.
“Gimana?? Enak kan??” tanya mama penasaran
“Enak banget Ma. Ma, kita ke rumah teman Zul dulu ya. Teman
Zul, Shinta, yang Zul ceritakan kemarin sedang mencari kue brownies ini.”
“Mencari Brownies?? Shinta?? Terserah kamu Nak. Mama ikut
saja. Kebetulan mama penasaran sama Shinta yang kamu ceritakan itu.”
“Makasih Ma!!!” Tanpa berkomentar panjang aku pun memacu
mobilku menuju ke rumah Shinta. Aku yakin brownies ini lah yang Shinta cari
selama ini. Beruntung jalan ibukota sedang tidak macet sehingga tidak lama aku
telah sampai ke depan rumah Shinta. Aku begitu bahagia saat turun dari mobil
sambil membawa sekotak brownies. Aku telah membayangkan wajah Shinta yang
bahagia saat mencicipi kue brownies yang telah ia cari selama ini.
Saat aku hendak mengetuk pagar, tiba-tiba ada seorang bapak
tua yang berjalan mendekatiku.
“Kamu dr. Zul kan?? Nak Shinta tadi baru-baru saja dibawa ke
rumah sakit. Tiba-tiba ia terjatuh pingsan saat masuk ke rumah. Saya penjaga
rumah ini. Tadi ayahnya berpesan pada saya untuk memberikan pesan ini kalau
seandainya ada yang datang. Ayahnya sudah mencoba menghubungi handphone dokter,
namun tidak aktif.” Jelas Pak Udin, pembantu Shinta.
“Astagfirullah!!! Pak Udin,. Iya Pak. Ke rumah sakit biasa ya
Pak??” aku bertanya dengan nada keras
“Iya Dok. Di rumah sakit tempat Nak Shinta biasa dirawat.”
“Makasih Pak.” Aku segera berlari ke mobil sambil merogoh
sakuku memeriksa HPku. Ternyata benar, HPku mati. Aku mengutuk diriku sendiri
yang telah lalai menjaga Shinta. Mestinya tadi aku sudah menyadari bahwa Shinta
sedang tidak sehat. Mestinya tadi aku langsung membawanya ke rumah sakit.
“Kenapa Nak?? Kenapa dengan Shinta??” tanya mama
“Shinta dibawa ke rumah sakit Ma baru saja. Dia terlalu lelah
seharian berjalan bersamaku. Ma, kita langsung ke rumah sakit ya??”
“Innalillah… Kasihan Shinta…” jawab mama terkejut
Tanpa banyak komentar, aku pun menyalakan mobil dan melaju ke
rumah sakit. Dalam hati aku berdoa semoga Shinta baik-baik saja. Semoga wanita
istimewa dalam hatiku itu masih bisa bertahan hidup. Aku tak berhenti
menyalahkan diriku yang tidak menyadari keadaan Shinta.
Tak lama berselang aku telah sampai ke rumah sakit. Aku pun
langsung berlari sambil membawa kotak kue brownies menuju ke ruang UGD. Mama
ikut berlari di belakangku. Kelihatannya beliau juga khawatir dengan Shinta.
“Pak Syukur, tadi ada pasien bernama Shinta masuk ke sini
ya??” tanyaku pada salah seorang perawat UGD
“Eh…dr. Zul. Iya Dok,. Baru saja ia dibawa ke ruang ICU.
Keadaannya sangat memperihatinkan Dok. Tadi dr. Farid sudah memeriksanya. Atas
anjuran beliau, Shinta dibawa ke ruang ICU.”
“Makasih Pak!!!” aku pun berlari ke ruang ICU. Di depan
ruangan aku melihat ayah Shinta sedang memeluk istrinya yang menangis.
“Di mana Shinta Pak?? Bagaimana keadaannya??” aku mencoba
menata suaraku yang panic
“Dok, Shinta sekarang ada di dalam. Keadaannya sangat parah.
Dr. Farid telah menjelaskan pada kami untuk banyak berdoa. Kami sudah pasrah
Dok. Dokter langsung masuk saja. Shinta sejak tadi memang menanyakan Dokter.
Kami sudah mencoba menghubungi Dokter cuma HPnya Dokter tidak aktif” Jawabnya
lirih
“Maaf Pak, HP saya mati. Sabar ya Pak, Bu. Insya Allah masih
ada harapan buat Shinta. Saya masuk ke dalam dulu ya Pak, Bu.” aku mencoba
menenangkan. Pikiranku betul-betul kacau. Aku tidak menyangka bahwa akan
secepat ini. “Bukannya masih ada tiga hari lagi??” aku menggumam
“Dok, Shinta ada di bed 4 Dok. Dari tadi ia memang menanyakan
dr. Zul.” sapa Ica salah seorang perawat ICU.
“Bagaimana kondisinya??” tanyaku padanya
“Sepsis Dok,. Suhu tubuhnya meningkat sekali. Untungnya
kesadarannya masih bagus, meskipun sudah mulai mengalami penurunan.” Jelas Ica
“Makasih ya. Aku ke sana dulu.”
Aku melihat Shinta sedang terbaring lemah. Wajahnya
sekali-sekali meringis kesakitan. Aku meraih kedua tangannya perlahan-lahan.
Tubuhnya panas sekali. Aku begitu sedih melihat kondisi Shinta yang sekarang.
Sungguh berbeda dengan beberapa jam yang lalu. Aku mencoba menahan air mata
yang hendak keluar dari mataku.
“Dok, kamukah itu??” sapanya lemah. Matanya terbuka perlahan
“Iya, ini saya Shinta. Shinta jangan banyak bicara dulu.
Istirahat ya. Oo..iya saya sudah menemukan brownies yang Shinta cari.” Aku menunjukkan
kotak kue brownies yang tak lepas dari tanganku sejak tadi.
“Masa sich Dok…??? Boleh Shinta coba…..???” Shinta mencoba
duduk untuk melihat langsung kue brownies tersebut.
“Jangan bangun Shinta. Nanti saya suapkan kuenya. Shinta
baring saja.” Pandanganku beralih ke Ica, meminta izin padanya untuk memberikan
kue tersebut. Ica hanya mengangguk sedih, terharu melihat pemandangan di ruang
ICU tersebut.
“Ini Shinta” aku menyuapkan potongan kecil kue brownies yang
aku bawa ke mulutnya perlahan
Shinta mengunyah kue tersebut perlahan-lahan. Terlihat ia
mencoba merasakan kue brownies tersebut sambil sesekali meringis kesakitan.
Air mata menetes di kedua matanya saat potongan kue tersebut
telah ia telan. Wajahnya terlihat begitu bahagia.
“Ini Dok… Inilah kue brownies yang Shinta cari selama ini…..
Shinta bahagia sekali bisa merasakannya. Shinta seakan-akan merasakan memori
masa kecil Shinta saat nenek masih hidup. Terima Kasih ya Dok…..”
“Sama-sama Shinta. Sekarang Shinta istirahat dulu ya!!!”
“Dok…. Tahu… gak… Dok?? Saya sudaahhhh… memenuhi… catatan…
terakhirku…. Shinta sangat bahagia…” suara Shinta mulai melemah
“Sudah Shinta, Shinta istirahat ya!!
“Hehehehe….jangan….khawatirkaaaannnn…. Shinta Dok…..
Shinta….sudah siap… menghadap-Nya…. Uhuuukk uhukkk uhuukkk…. Apa yang ….Shinta…
cari…. selama…. iiinnnniii….. telah Shinta……peroleh…. Dok, sebelum… Shinta…
pergi… Shinta…. mau ngomong…. Dok, Shinta….. sayang…… sama…. Dokter….
Shinta….mencintai……Dokter…..sekarang….. dan…. untuk….. selamanya….” Pernyataan
Shinta begitu memilukan di hatiku.
“Saya juga sayang sama Shinta…. Bagiku Shinta akan selalu
mendapatkan tempat yang istimewa di hatiku…” aku menggenggam erat kedua
tangannya. “Jangan pergi dulu Shinta!!! Kita akan pergi berdua ke mana saja
Shinta mau. Shinta harus kuat!!!” aku tak dapat lagi menahan gejolak perasaan
yang beberapa hari ini memang menghantui pikiranku. Aku baru sadar bahwa
perasaan aneh itu ternyata adalah perasaan cinta yang telah tumbuh dalam ruang
hatiku. Cinta yang begitu tulus pada Shinta.
“Te…ri…ma… ka….sih…. Dok!!! Te…ri…ma…ka…sih…te..lah… menjadi
ba…gian….da…ri…mim..pi…mim….pi… in…dahku….” Suaranya semakin melemah
“Dok!!!..... Apa….yang….akan…Dok…ter… la…ku….kan… sa…at…
ta…hu… Dok…ter…a….kaaann… meninggal….du…nia… E…sok ha…ri????” tanyanya sambil
tersenyum lemah.
“Aku sudah buat catatan yang akan aku lakukan Shinta.” Jawabku
tegas. Aku hanya mampu tersenyum manis padanya. Aku larut dalam kesedihanku
melihat sosok wanita yang aku cintai akan dijemput maut…..
“Shin…..ta…..pa….mit…. du…lu… ya… Dok….. Ma….lai….kat….
Ma….ut…te….lah….da…tang…. Ia……ter…..se….nyum….ma….niiiiss…. pa…..da….
Shiiinnn…..taaaa…. Asyhadu…..Alllahhhhhh…..Ilaaaaa…..Ha…..Illlaallllaaahhhhh…..
Waaaa…..aaaassyyyyyhaaaaduuuu…….annnnaaaaa…..Muuuuhaaammmmmadarrrrasuuullullllahhhh….”
kalimat tauhid itu menjadi kalimat terakhir dari Shinta malam itu. Suasana haru
langsung menyelimuti ruangan ICU. Tangisku seakan tak mampu kubendung. Air mata
mengalir di kedua mataku melihat Shinta terbujur kaku.
Sosok wanita yang begitu tegar menghadapi hidup telah
menghembuskan nafas terakhirnya di dunia…. Wanita yang begitu tegar menghadapi
suratan takdir yang telah dicatat oleh Sang Khalik dengan kepala tegak…. Wanita
yang begitu tegar berteman dengan kematian….
PROFIL PENULIS
Nama : Muhammad Taqwim Mulwan
Tempat / Tgl. Lahir : Ujung Pandang, 22 Mei 1985
Alamat : Jl. Perintis Kemerdekaan 3 BTN Hamzy blok N/7,
Kelurahan Tamalanrea Indah, Kecamatan Tamalanrea, Makassar 90245
Add Facebook : Muhammad Taqwim
Follow Twitter : @taqwim
Agama : Islam